Rabu, 28 Juni 2017

HAKIKAT MANUSIA MENURUT JEAN-JACQUES ROUSSEAU

Jean-Jacques Rousseau

Jean-Jacques RousseauLahir di Jenewa, Swiss, filosof tenar Jean-Jacques Rousseau ini. Malang menimpa, bundanya hembuskan napas teraklrir tak lama sesudah melahirkannya. Rupanya, nasib buruk masih terus membuntuti: di umur sepuluh tahun ayahnya diusir dan meninggalkan Jenewa dan hiduplah Rousseau seorang diri. Kemudian Rousseau sendiri meninggalkan Jenewa tahun 1728 ketika umurnya menginjak enam belas tahun. Bertahun Rousseau awam seawam-awamnya, tak terkenal namanya samasekali, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, dan bekerja di satu tempat dan pindah kerja di tempat lain. Di sela-sela itu dia terlibat percintaan dengan banyak wanita, antara lain dengan Therese Levasseur yang ujungujungnya punya lima anak di luar perkawinan. Dia tempatkan kelima anak itu di asrama anak-anak yang tidak ketahuan bapak-ibunya. (Tatkala usianya mencapai lima puluh tahun, Therese dinikahinya betul-betul).

Pada tahun 1750 –di umur tiga puluh delapan– mendadak Rousseau jadi tenar. Akademi Dijon menawarkan hadiah esai terbaik tentang pokok soal: apakah seni dan ilmu pengetahuan memang punya manfaat buat kemanusiaan, berhasil dapat hadiah pertama. Sesudah itu namanya melangit. Beruntun muncullah karya-karya lainnya, termasuk Discourse on the Origin of Inequality (1755); La nouvelle Heloise (1761); Emile (1762); The Social Contract (1762); Confessions (1770) yang kesemuanya itu melambungkan kemasyhurannya. Tambahan lagi, karena Rousseau suka musik, dia menggubah dua opera masing-masing Les muses galantes dan Le devin du village.
Kendati mulanya Rousseau sahabat sejumlah penulis pembaharu Perancis –termasuk Denis Diderot dan Jean d’Alambert, jalan pikirannya segera bersimpang jalan tajam dengan mereka. Karena Rousseau menentang rencana Voltaire mendirikan sebuah teater di Jenewa (Rousseau bersikeras bahwa teater merupakan sekolah yang membejatkan moral), Rousseau dibenci habis-habisan oleh Voltaire. Disamping itu, citra rasa Rousseau berbeda amat dengan rasionalisme Voltaire dan kaum Encyclopedist. Mulai tahun 1762 dan seterusnya, Rousseau menghadapi kesulitan dengan pihak penguasa karena tulisan-tulisan politiknya. Beberapa kawan dekatnya mulai menjauh darinya dan bersamaan dengan saat itulah Rousseau tampak mengalami kelainan jiwa. Meskipun sejumlah orang masih bersahabat dengannya, Rousseau bersikap bermusuhan dengan mereka karena sifatnya sudah menjadi penuh curiga dan kasar. Selama dua puluh tahun sisa hidupnya, dia umumnya menjadi orang penuh benci dan kecewa serta dirundung kemurungan tak bahagia. Dia meninggal dunia 1778 di Ermenonville Perancis.
Tulisan-tulisan Rousseau orang bilang merupakan faktor penting bagi pertumbuhan sosialisme, romantisme, totaliterisme, anti-rasionalisme, serta perintis jalan ke arah pecahnya Revolusi Perancis dan merupakan penyumbang buat ide-ide modern menuju demokrasi dan persamaan. Dia juga dianggap punya sumbangan penting dalam hal pengaruh teori pendidikan modern. Telah lama dipermasalahkan di bidang teoritis bahwa manusia hampir pada hakekatnya merupakan produk alam sekitarnya (karena itu mudah berubah serta peka). Anggapan ini berasal pula dari tulisan-tulisan Rousseau. Dan sudah barang tentu, dia pun punya saham dalam hal pemikiran bahwa teknologi modern dan masyarakat itu sesuatu yang buruk. Dia pula yang memperkenalkan khayalan tentang “kualitas keprimitifan.” Pada mulanya Rousseau tidak pernah menggunakan sebutan itu, dan juga dia tidak merupakan seorang pengagum penduduk pribumi pulau-pulau di laut selatan, atau pun orang-orang Indian. Pikiran tentang apa yang disebut “kualitas keprimitifan” telah dikenal jauh sebelum jaman Rousseau, dan penyair Inggris kenamaan, John Dryden, sudah menggunakan sebutan yang persis begitu lebih dari seabad sebelum Rousseau lahir ke dunia. Dan bukan pula Rousseau yang berpendapat dan bersikap bahwa masyarakat itu dasarnya brengsek. Malah sebaliknya, dia senantiasa menekankan bahwa masyarakat itu perlu untuk manusia.
Dan akan halnya Rousseau-lah yang mula-mula mencetuskan gagasan “kontrak sosial” itu pun sepenuhnya palsu. Gagasan ini sudah didiskusikan panjang-lebar oleh John Locke yang hasil karyanya sudah diterbitkan jauh sebelum Rousseau lahir. Bukti menunjukkan, filosof Inggris yang masyhur Thomas Hobbes telah pula mendiskusikan pikiran ini (kontrak sosial) bahkan sebelum John Locke.
Bagaimana pula ihwal penolakan Rousseau terhadap teknologi? Amatlah gamblang dan jelas bahwa dua abad sesudah Rousseau meninggal dunia menyaksikan tumbuhnya teknologi yang luar biasa. Penentangan Rousseau terhadap teknologi dengan begitu jelas sia-sia belaka. Kalau toh terasa ada gerutu anti teknologi dewasa ini, itu sama sekali bukanlah bertolak dari tulisan Rousseau melainkan akibat yang tak diharapkan dari penggunaan teknologi yang tak terkendali di abad akhir ini.
Banyak para pemikir mengusulkan bahwa faktor lingkungan punya makna penting dalam pembentukan karakter manusia, karena itu saya pikir tak ada alasan mengaitkan ini dengan pikiran Rousseau karena toh memang menjadi pendapat umum. Begitu juga nasionalisme, sudah merupakan faktor pendorong utama jauh sebelum Rousseau hidup dan peranannya dalam pertumbuhan nasionalisme ini tidaklah seberapa.
Apakah tulisan-tulisan Rousseau merintis jalan ke arah pecahnya Revolusi Perancis? Sampai batas tertentu memang tak dapat disangkal, dan mungkin lebih penting dari apa yang disumbangkan oleh Diderot dan d’ Alambert. Tetapi, pengaruh Voltaire yang tulisan-tulisannya muncul lebih dulu, jumlahnya lebih banyak, lebih jelas arahnya, pokoknya lebih punya kaitan dari banyak segi.
Memang benar, Rousseau seorang anti-rasionalis diukur dari wataknya, khusus bertentangan dengan para penulis masyhur Perancis pada jamannya. Tetapi, anti-rasionalis bukanlah pula barang baru; kepercayaan politis serta sosial kita sering bertolak dari emosi dan prasangka, kendati kita coba-coba menyebutnya rasional sekedar satu alasan untuk meyakinkan mereka.
Tetapi, jika pengaruh Rousseau tidaklah sebesar anggapan para pengagumnya, bagaimanapun juga cukup meluas. Sebab, sepenuhnya benar bahwa dia merupakan faktor penting dalam hal pertumbuhan romantisme dalam kesusasteraan, dan pengaruhnya di bidang teori pendidikan berikut pemraktekannya telah membuktikan arti pentingnya. Rousseau memperkecil makna penting pendidikan anak-anak lewat buku bacaannya, karena dianggapnya lebih efektif belajar lewat pengalaman. (Kebetulan, Rousseau seorang penganjur gigih agar bayi minum susu ibu). Kedengarannya mencengangkan betapa seorang yang meninggalkan anaknya sendiri punya keberanian beri ceramah perihal bagaimana memelihara dan membesarkan anak-anak, tetapi tak usah diragukan bahwa gagasan-gagasan Rousseau punya pengaruh mendalam pada teori pendidikan modern.
Banyak pikiran menarik dan orisinal terdapat dalam tulisan-tulisan politik Rousseau. Tetapi yang paling menonjol dari kesemuanya itu adalah gairahnya yang berkobar-kobar terhadap terjelmanya persamaan hak dan derajat, dan perasaan yang membawa bahwa struktur masyarakat yang ada merupakan sesuatu yang tak tertahankan ketidakadilannya. (“Manusia dilahirkan merdeka; dan di mana-mana dia terbelenggu oleh rantai”). Rousseau sendiri tidak menganjurkan tindak kekerasan, tetapi jelas dia menggoda orang lain memilih revolusi kekerasan untuk mencapai perbaikan tingkat demi tingkat.
Pandangan Rousseau terhadap milik pribadi (dan juga terhadap pelbagai pokok masalah) sering bertentangan satu sama lain. Pernah dia menggambarkan hak milik pribadi itu merupakan “hak yang paling suci dari semua hak penduduk.” Tetapi, bisa juga dibilang bahwa serangannya terhadap hak milik pribadi punya akibat lebih besar terhadap sikap para pembacanya ketimbang komentar-komentarnya yang bernada memuji dan menyanjung. Rousseau merupakan salah satu dari penulis modern pertama yang punya arti penting melabrak habis lembaga hak milik pribadi, karena itu dia bisa dianggap selaku pemula dari faham sosialisme dan komunisme modern.
Akhirulkalam, orang tidak boleh anggap sepele teori Rousseau di bidang konstitusi. Ide sentral tentang “Kontrak sosial” adalah, menurut bunyi kalimat Rousseau sendiri “pengalihan secara total seluruh hak-hak orang per orang kepada masyarakat secara keseluruhan.” Kalimat ini mempersempit ruang gerak buat kebebasan pribadi atau untuk hak-hak asasi. Rousseau sendiri adalah seorang pembangkang terhadap penguasa, tetapi pengaruh pokok dari bukunya dapat dibuktikan kemudian oleh negara-negara totaliter.
Rousseau dikritik sebagai seorang kehinggapan penyakit syaraf yang gawat (belum lagi anggapan bahwa dia sinting), sebagai seorang lelaki chauvinis, seorang pemikir yang bikin resah dan pikirannya tidak praktis. Kritik-kritik macam ini umumnya dapat dibenarkan. Tetapi, yang lebih penting dari kekurangan-kekurangan yang ada pada Rousseau adalah pandangannya yang tajam dan kecerdasan yang orisinal yang terus berlangsung mempengaruhi pemikiran modern selama lebih dari dua abad.

 https://100tokohsejarah.wordpress.com/2009/10/24/jean-jacques-rousseau/

Senin, 12 Juni 2017

KEBEBASAN YANG MEMILIH, MEMUTUSKAN DAN BERTANGGUNG JAWAB



A. HIDUP DAN KARYA SARTRE
Jean-Paul Sartre lahir dalam tahun 1905 sebagai putra dari Jean-Batiste, seorag perwira Angkatan Laut Prancis, dan Anne-Marie Schweiter. Sejak muda, ia sudah memperlihatkan minat dan bakatnya yang besar pada karya-karya sastra. Minatnya pada filsafat tumbuh ketika ia bertemu dengan Hendri Bergson (1849-1941) di Ėncole Normale, Paris, tempat ia belajar. Antara tahun 1934-1935, Sartre menghabiskan waktunya di Institut Francais di Berlin, di mana ia mempelajari fenmonologi Husserl. Sartre menulis buku Transcenental Ego (1936) di Jerman ketika ia masih berada di Institut tersebut. Ia mengaku bahwa bukunya itu ditulis atas pengaruh dari Husserl. Di Berlin ia juga menulis novelnya yang terkenal La Nausėe (rasa mual) yang dianggapnya sendiri sebagai karyanya yang terbaik sampai akhir kariernya.
Selama perang dunia II, Sartre aktif dalam gerakan pertahanan Prancis sampai menjadi seorang tawanan perang tentara Jerman. Di kamp tahanan perang, ia membaca tulisan-tulisan Heidegger. Rujukan-rujukannya kepada pemikiran Heidegger memperlihatkan bahwa pemikiran Heidegger amat berpengaruh atasnya. Ini terutama kelihatan dalam karya monumentalnya L’Ėtre et le Nėant (Being and Nothingness, Ada dan Ketiadaan). Sartre banyak menulis buku-buku dan ia menghasilkan lebih dari 30 volume buku dan sebagai kelanjutan dari Being and Nothingness (1943), ia menulis karyanya yang besar Critique of Dialectical Reason (1960). Bukunya yang terakhir adalah suatu karya tiga volume tentang Fleubert, berjudul The Idiot of the Familiy, 1971-1972. Sartre adalah orang yang komitmen pada kebebasan dan hal ini menyebabkan ia menolak menerima hadiah nobel untuk bidang sastra yang dianugerahkan kepadanya pada tahun 1964. Alasanya,  “saya tidak mau dijelmakan ke dalam ikatan situasi”. Sartre hidup sederhana dengan harta milik yang tidak seberapa di suatu apartemen kecil di Paris. Kesehatannya menurun dan hampir buta. Ia akhirnya meninggal pada tanggal 15 April 1980, dalam usia tujuh puluh empat tahun.

B. MANUSIA DAN KEBEBASANNYA
Nama Sartre sering diidentifikasikan dengan eksistensialisme, karena ia selalu merujuk pada tulisan-tulisan filsuf lain yang membahas tentang eksistensialisme. Pikirannya tentang eksistensialisme tertuang dalam tulisannya L’Existensialisme est un humanisme, suatu materi kuliah yang dipublikasikannya dalam tahun 1946. Usaha untuk memahami pemikirannya tentang manusia dan kebebasannya adalah baik jika diawali dengan usaha untuk memahami pemahamannya mengenai eksistensi dan esensi manusia.
1.     Eksistensi dan Essensi Manusia: Usaha Memahami Kebebasan.
Selama masa hidupnya, Sartre hampir menaruh sebagian besar studi filsafatnya pada eksistensi individu manusia. Hasilnya, ia merumuskan inti prinsip dasar eksistensialisme: eksistensi mendahului esensi.[1] Bagaimana formulasi ini membantu kita memahami hakikat manusia?
Sartre berpendapat bahwa usaha untuk menjelaskan kenyataan adanya manusia tidak sama dengan kenyataan adanya benda-benda. Maksud implisit yang mau ditampikan Sartre di sini yakni bahwa manusia itu memiliki martabat yang luhur melebihi benda-benda yang ada. Penekanan pada manusia subyek ini, sekaligus juga hendak mengungkapkan adanya suatu kebebasan dalam diri setiap orang untuk menjadikan dirinya sendiri sesuai dengan apa yang diinginkannya. Manusia adalah kebebasan yang mencipta secara total, maka ia menyempurnakan dirinya sendiri, ia adalah suatu rancangan untuk masa mendatang. Jadi, kodrat (esensi) manusia tidak mungkin ditentukan, tetapi adalah terbuka sama sekali. Itu berarti bahwa manusia adalah “sesuatu “ yang menggerakan dirinya sendiri menuju ke masa depan dan gerakan itu sungguh disadarinya. Gerakan ke depan ini membuka kemungkinan dan peluang bagi dirinya sendiri untuk secara bebas menentukan apa yang diinginkan dirinya untuknya sendiri. Inilah yang dimaksudkan Sartre dengan esensi manusia: menentukan dirinya sendiri tanpa intervensi dan campur tangan orang ataupun pihak lain. Akan tetapi, baginya, penentuan ini  hanya dapat terjadi jika manusia telah berada lebih dahulu. Beradanya manusia disebutnya dengan istilah ėrtre pour-soi, being for itself, cara berada yang terbuka, dinamis, dan dengan kesadaran subyektif.[2] Suatu kenyataan yang berbeda dengan benda-benda yang cara beradanya diistilahkan Sartre dengan ėrtre en-soi. Yang dimaksudkan dengan cara berada ini yakni cara berada yang bersifat tertutup, statis, pasif, dan tanpa kesadaran.
  1. 2. Manusia adalah Kebebasan yang Memilih dan Memutuskan.
Sartre berpendapat bahwa hekikat manusia adalah kebebasan dan kebebasan manusia itu bersifat mutlak.[3] Lagi, kebebasan itu hanya dimiliki oleh manusia semata.[4] Merupakan suatu kemutlakkan karena inilah yang menjadi syarat bagi pengembangan dan pembangunan diri manusia. Human rality is free, bassically and completely free.[5] Sedangkan kebebasan nampak dalam kenyataan bahwa manusia adalah bukan dirinya sendiri, melainkan selalu berada dalam situasi menjadi diri sendiri. Situasi di mana manusia dituntut untuk tidak berhenti pada dirinya sendiri melainkan berusaha untuk mengubah dirinya. Usaha ini disertai dengan pelbagai keputusan atas pilihan-pilihan yang dapat dipilih manusia itu sendiri. Dalam usaha ini manusia bertindak seorang diri saja tanpa orang lain menolong atau berasamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya sendiri dan untuk seluruh umat manusia. Dalam memutuskan, saya tidak mempunyai bukti atau alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan itu benar.
Sampai di sini, Sartre hanya mau menarik perhatian pada salah satu dari pengalaman manusia yang paling jelas, yaitu bahwa semua manusia harus memilih, harus mengambil keputusan dan walaupun tanpa penentuan yang otoritatif, manusia harus memilih. Pengambilan keputusan ini berkaitan langsung dengan penentuan esensi dari manusia itu sendiri. Jadi, manusia adalah individu yang lebih dahulu bereksistensi dan kemudian ia sendiri menentukan esensinya dengan membuat pilihan-pilihan bebas atas pelbagai kemungkinan yang dihadapinya. Pilihan dalam penentuan hidup ini adalah suatu bentuk dari proyek yang diusahakan manusia baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap dunia. Terhadap diri sendiri, manusia mengusahakan suatu proyek yang bertujuan untuk mencapai suatu kemungkinan dalam eksisteninya. Kemungkinan-kemungkinan itu sambung menyambung sepanjang manusia masih bereksistensi. Dan usaha ini terjadi dalam dunia karena manusia adalah being-in-the world.[6]
  1. 3. Kebebasan Manusia Menuntut Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri dan Sesama
Manusia bebas menentukan apa yang menjadi esensi dirinya. Dan penentuan ini dilakukannya dengan membuat pilihan-pilihan. Akan tetapi, kebebasan membuat pilihan ini disertai dengan rasa takut yang mendalam, karena dengan pilihan itu  manusia menyatakan tanggung jawabnya bukan terhadap dirinya sendiri tapi juga terhadap orang-orang lain. Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar ia berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia.[7] Menurutnya, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari bahwa ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu pula ia talah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan semua orang, dan pada saat itu pula manusia tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh. Demikian dikatannya bahwa kita bertanggung jawab atas keseluruhan eksistansi kita dan bahkan kita bertanggung jawab atas semua manusia, karena terus menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sekaligus kita juga memilih untuk orang lain. Terhadap diri sendiri, manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab kepada alam rasanya. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab, bahkan terhadap alam rasanya, karena perasaannya justru dibentuk oleh perbuatannya sendiri.
Dalam kaitan dengan sesama sebagai bagian dari kenyataan eksistensi manusia yang ada bersama secara bebas, Sartre juga berpendapat bahwa kebebasan saya harus juga memperhitungkan kebebasan orang lain. saya tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa serentak juga membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Jadi saya bebas, tetapi dalam kebebasan saya, saya sepantasnya memberikan peluang juga kepada orang lain untuk mengungkapkan kebebasannya. Dalam konteks ini, pemberian makna pada kehidupan dan dunia kehidupan akan menjadi mungkin. Memang ia pernah menyebutkan orang lain sebagai “neraka”, tetapi kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Dalam kaitan dengan ini, ia pernah menyampaikan pandangannya tentang relasi dengan orang lain sebagai berikut: hakekat relasi-relasi antara manusia ternyata adalah konflik: orang lain membuat saya menjadi obyek atau saya membuat hal yang sama pada orang lain. Manusia hanya akan lebih dekat satu dengan yang lain, kalau bergabung melawan orang ketiga, karena dengan demikian akan muncul “kita” yang obyektif.[8] Konteks pandangannya ini hendak memberi kritik pada kenyataan hidup manusia yang terbelenggu dalam kebiasaan menjadikan orang lain sebagai obyek yang berfungsi sebagai sarana bagi pengembangan diri sendiri.
4.   Kebebasan Manusia Sebagai Dalam Kaitan Dengan Eksistensi Tuhan
Penegasan Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi sebetulnya sudah menyisyarakatkan adanya penyangkalannya terhadap eksisteni Tuhan. Apa yang hendak disampaikan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan kalimat tersebut? Inti dari pembicaraan Sartre tentang Tuhan yakni bahwa ia menyangkal adanya eksistensi Tuhan. Ia mengkritik pandangan yang menempatkan Tuhan sebagai pencipta yang dengan kata lain hendak mengatakan bahwa esensi manusia sudah ada sebelumnya. Esensi yang ada pada Tuhan yang mendapatkan eksistensi dalam penciptaan atau beradanya manusia di dunia. Sartre menolak pendangan ini dengan berpendapat bahwa yang pertama ada pada manusia yakni eksisteninya kemudian esensi yang ditentukan manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau orang lain. Jika ada Tuhan yang mahatahu dan mahakuasa, menurutnya, maka segalanya yang bukan adanya Tuhan adalah ciptaanNya. Kalau begitu, dalam diri Tuhan terdapat semacam rencana penciptaan di mana esensi benda-benda, termasuk esensi manusia, telah ditentukan. Dengan demikian, seorang manusia tidak dapat berubah secara hakiki dan tidak dapat mencapai taraf tinggi daripada yang ditentukan Tuhan. Sartre menolak kenyataan ini. katanya, seandainya Tuhan ada, Ia akan merupakan identitas penuh dari ada dan kesadaran. Itulah sebabnya ia memilih secara sadar ateisme sebagai jalan hidupnya.
Dalam konteks kebebasan, dapat diajukan pertanyaan ini: bagaimana mungkin manusia menentukan secara bebas hidupnya jika ia harus bertindak sesuai dengan intervensi dari Tuhan? Manusia adalah kebebasan sehingga ia sendiri yang menentukan esensinya dan bukan esensi itu sudah ada pada Tuhan sebelum manusia bereksistensi. Atas cara ini, eksistensi Tuhan ditolak oleh Sartre. Kalau Allah ada, manusia tidak bebas. Sebaliknya kalau manusia bebas, Allah harus tidak ada.[9] Inilah pemikiran antropologis Sartre yang ditempatkan dalam bingkai pembicaraannya mengenai kebebasan.

Demikian telah dibahas tentang kebebasan manusia dalam menentukan esensinya dalam pandangan Jean-Paul Sartre. Intinya bahwa manusia adalah subyek yang menentukan sendiri esnsinya setelah ia bereksistensi. Penentuan ini dilakukannya dengan pelbagai pilihan-pilihan yang menuntut dia untuk memutuskan nilai mana yang harus menjadi bagiannya. Dalam usaha ini, manusia tidak saja bergerak sendirian tetapi juga bersama dengan orang lain. Konsekuensi dari pandangan ini yakni bahwa eksistensi Tuhan harus ditolak, karena bila ada eksistensi Tuhan maka manusia tidak memiliki kebebasan untuk menentukan esensinya.

Jumat, 26 Mei 2017

August Comte

Hakekat Manusia menurut August Comte

Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, tahap teologis, kedua,tahap metafisik, ketiga, tahap positif.
1.      Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri(polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2.      Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
Tahap positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
                                           
B.      Positivisme
Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Positivisme hanya membatasi diri pada apa yang tampak, segala gejala. Dengan demikian positivisme mengesampingkan metafisika karena metafisika bukan sesuatu yang real, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dibuktikan. Positivisme suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Positivisme merupakan bentuk lain dari empirisme, yang mana keduanya mengedepankan pengalaman. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman subjektif.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme.  Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata “positif”. Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif.
Singkatnya, filsafat Comte  merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir(mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.
Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte  berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
C.      Pengaruh Dari Positivisme
Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada kehidupan intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes, penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin, salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan belas; dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh oleh Comte.
Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan wajib.
Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte, di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya sebagai ”the best possible intiation into the study of sociology”. Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara umum
Sebagai akibat dari pandangan tersebut, maka ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive danexplanatory sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan adanya “contra-mainstream”. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan secara matematis dan fisis.
Demikianlah beberapa pemikiran Auguste Comte tentang tiga tahapan perkembangan manusia dan juga bagaimana positivisme Auguste Comte memandang sumber ilmu pengetahuan.
D.     Kritik Terhadap Positivisme
Positivisme Auguste Comte mengemukakan tiga tahap perkembangan peradaban dan pemikiran manusia ke dalam tahap teologis, metafisik, dan positivistik. Pada tahap teologis pemikiran manusia dikuasai oleh dogma agama, pada tahap metafisik pemikiran manusia dikuasai oleh filsafat, sedangkan pada tahap positivistik manusia sudah dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahap ketiga itulah aspek humaniora dikerdilkan ke dalam pemahaman positivistik yang bercorak eksak, terukur, dan berguna. Ilmu-ilmu humaniora baru dapat dikatakan sejajar dengan ilmu-ilmu eksak manakala menerapkan metode positivistik. Di sini mulai terjadi metodolatri, pendewaan terhadap aspek metodologis.
Selain itu, model filsafat positivisme-nya Auguste Comte tampak begitu mengagungkan akal dan panca indera manusia sebagai tolok ukur “kebenaran”. Sebenarnya “kebenaran” sebagai masalah pokok pengetahuan manusia adalah bukan sepebuhnya milik manusia. Akan tetapi hanya merupakan kewajiban manusia untuk berusaha menghampiri dan mendekatinya dengan “cara tertentu”.
Kata cara tertentu merujuk pada pemikiran Karl Popper mengenai “kebenaran” dan sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek melalui rasio (akal) dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif. Artinya kebenaran selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian “trial and error” (proses penyisihan terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga “kebenaran” se1alu dibuktikan melalui jalur konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis. Atau dengan meminjam dialektika-nya Hegel, sebuah “kebenaran” akan selalu mengalami proses tesis, sintesis, dan anti tesis, dan begitu seterusnya.
Pandangan mengenai “kebenaran” yang demikian itu bukan berarti mengisyaratkan bahwa Penulis tergolong penganut Relativisme, karena menurut Penulis, Relativisme sama sekali tidak mengakui “kebenaran” sebagai milik dan tangkapan manusia terhadap suatu objek. Penulis berkeyakinan bahwa manusia mampu menangkap dan menyimpan “kebenaran” sebagaimana yang diinginkannya serta menggunakannya, namun bagi manusia, “kebenaran” selalu bersifat sementara karena harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian (falsifikasi). Dan bukanlah verifikasi seperti apa yang diyakini oleh Auguste Comte. Hal demikian karena suatu teori, hukum ilmiah atau hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara positif, melainkan dapat disangkal (difalsifikasikan).
Jelasnya, untuk menentukan “kebenaran” itu bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana data-data yang telah diobservasi, dieksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif), melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru.

Minggu, 14 Mei 2017

KEHENDAK BERKUASA NIETZSCHE

FILSUF FRIEDRICH NIETZSCHE 



Nietzsche adalah anak dari Darwin dan mempunyai saudara laki-laki yang bernama Bismarck. Nietzsche adalah seorang filsuf yang sering mencemooh para revolusionis Inggris dan para nasionalis Jerman. Ia juga seorang filsuf yang selama hidupnya selalu menabuh genderang peperngan.
            Filsafat etika dikembangkan oleh Nietzsche berdasarkan teori evolusi. Bagi Nietzsche, hidup adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk hiduplah yang berhak dapat terus melangsungkan kehidupannya. Kekuatan disebut sebagai kebajikan yang utama, sedangkan kelemahan sebagai keterpurukan yang dianggap memalukan. Menurut Nietzsche, yang baik adalah yang mampu melangsungkan kehidupan, berjaya dan menjadi seorang pemenang. Yang buruk adalah yang tidak dapat bertahan, terpuruk dan kalah didalam kehidupan.
            Bagi Nietzsche, hidup adalah tempat seluruh makhluk hidup bertarung agar dapat terus bertahan dan melangsungkan hidupnya. Di dalam pertarungan yang kita sebut dengan kehidupan tidak memerlukan kebaikan, melainkan kekuatan. Kerendahan hati bukanlah sikap yang dibutuhkan, tetapi harus mempunyai kebanggan diri dan kecerdasan yang sangat tajam. Hukum kehidupan yang sebenarnya adalah hukum yang dibuat oleh alam, bukan hukum yang dibuat oleh manusia. Yang berarti, perbedaan dan nasib hidup mahluk hidup ditentukan oleh seleksi alam, kelangsungan hidup dan kekuasaan yang dimiliki.

            Jika pemikiran tersebut benar, maka tidak ada manusia yang lebih bermakna dan hebat seperti Bismarck, seorang manusia yang jujur dan mengetahui secara pasti mengenai kenyataan hidup. Tidak ada seorangpun yang memiliki keberanian seperti Darwin dan Bismarck, karena pemikiran mereka berbenturan dengan common sense dan kemanusiaan. Akan tetapi, Nietzsche memiliki keberanian yang lebih hebat melebihi kedua tokoh tersebut. Ia membangun filsafat yang mengembangkan, membenarkan pemikiran dan tindakan mereka serta menarik konsekuensi-konsekuensi yang jauh lebih luas sehingga berbenturan secara keras, bukan hanya dengan common sense dan kemanusiaan, tetapi juga secara langsung dan terang-terangan berbenturan dengan agama.

MANUSIA DAN KEHENDAK BERKUASA

Konsep kehendak untuk berkuasa Nietzsche adalah salah satu konsep yang bisa dikategorikan sebagai pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru.
Ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni :
1 penerimaan total pada kontradiksi hidup
2 proses transendensi insting-insting alamiah manusia
3 cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism)
Pemikiran tentang kehendak juga memiliki pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, berdasarkan fragmennya antara lain :
- Kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas.
- sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality)
-sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such)
Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai berikut "hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap" Nietzsche melihat realitas satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa.  Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Seluruh realitas dan segala yang ada di dalamnya adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah. Dunia adalah sesuatu yang hampa, dan tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif dan untuk memperoleh pengetahuan hanya memerlukan subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).
Manusia harus belajar melihat alam tidak hanya dari kaca matanya sendiri, dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.” Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan menikmatinya sepenuh hati. Manusia tidak dipandang sebagai mahluk rasional, melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity). Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa. Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview). Cara penjelasan Nietzche berupa mitologis (mythological explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and representation). Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak buta, bersikap pesimis, dan memilih untuk melarikan diri darinya, namun Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya, dua sikap tersebut dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang kehidupan. Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri dari dunia seperti sikap yang ditunjukkan Schopenhauer. Ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri seperti yang disarankan oleh Nietzsche. Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern yang merindukan dan menghasrati kekuasaan, namun berpura-pura menolaknya karena alasan-alasan moral. Nietzsche mengajak untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk kekuasaan yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia. Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.

Refrensi : https://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche
www.kompasiana.com/.../pemikiran-friedrich-nietzsche_552c360d6ea83

Minggu, 16 April 2017

Komentar Ajaran-Ajaran Filsafat Arthur Schopenhauer


1. Kehidupan Arthur Schopenhauer

Arthur Schopenhauer lahir pada 22 Februari 1788 di Danzig, Polandia. Kedua orang tuanya, Heinrich Floris Schopenhauer dan Johanna Schopenhauer, adalah keturunan orang kaya Jerman dan keluarga bangsawan. Arthur Schopenhauer tumbuh menjadi salah satu pesismis terbesar dalam sejarah filosofi karena Orangtuanya tidak memperhatikannya. Setelah kematian ayahnya yang bunuh diri, Arthur diwarisi kekayaan yang menjamin bahwa ia tidak perlu lagi bekerja. Lalu ia dikirim ke London untuk mempelajari bahasa Inggris di sekolah asrama Eagle House di Wimbledon.
Pada tahun 1809, Schopenhauer kuliah dan menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen untuk mempelajari Metafisik dan Psikologi di bawah pengajaran Gottlob Ernst Schulze (1761-1833). Schulze mendorong Schopenhauer untuk mempelajari lebih dalam mengenai pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Pada tahun 1811 sampai tahun 1812, dia mengikuti kuliah dari Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf terkemuka dan dari seorang teolog Friedrich Schleiermacher.
Pemikiran Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Buddha dan filsuf Imanuel Kant. Kekagumannya terhadap kedua tokoh tersebut sangat besar, sampai di ruang kerjanya dipasang patung kedua tokoh tersebut.
Di antara tahun 1814-1815 Schopenhauer pindah ke Dresden dan menulis beberapa tesis. Salah satu tulisan yang disebutnya sebagai mahakarya diselesaikan pada tahun 1818 adalah The World as Will and Representation. Sayangnya buku-buku Schopenhauer tidak laku terjual.
Tahun 1820 Schopenhauer memberikan kuliah filsafat mengenai teori esensi dunia dan pikiran manusia. Hanya lima orang yang mengikuti kuliahnya, sehingga akhirnya Schopenhauer dikeluarkan dari akademi tersebut.
Schopenhauer pernah menjalin hubungan dengan Caroline Medon selama 10 tahun, tapi Schopenhauer tidak pernah berminat untuk meresmikan hubungan itu. Belakangan saat usia 43 tahun, ia mulai memikirkan pernikahan dan mendekati Flora Weiss, namun tidak berhasil. Setelah kegagalan-kegagalan yang dialaminya, Schopenhauer memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen di Frankfurt pada tahun 1833.
Tahun 1851 Schopenhauer mencapai puncak ketenarannya setelah buku kumpulan esainya diterbitkan dan menjadi bestseller. Kesehatannya mulai memburuk dan ia pun meninggal pada 21 September 1860 karena gagal jantung ketika duduk di bangku sekitar rumahnya. Schopenhauer meninggal pada usia 72 tahun.

2. Kebijaksanaan dari Kematian dan Tragedi Perempuan.
Melalui nirwana individu meraih kedamaian tanpa kehendak, dan menemukan pembebasan. Akan tetapi, setelah individu merasa damai dan bebas, kemudian apa? Hidup membawa individu pada kematian, tetapi hiduppun akan menghidupi anak cucu itu, atau anak cucu individu-individu lain. Maka, dapatkah umat manusia diselamatkan? Adakah nirwana untuk semua umat manusia atau untuk sebuah ras, disamping untuk individu?
Jelas, bahwa satu-satunya penaklukan akhir dan radikal atas kehendak adalah menghentikan sumber kehidupan, yakni kehendak untuk reproduksi. Kepuasaan yang timbul akibat dorongan reproduktif harus dikutuk karena kepuasan seperti itu merupakan penegasan yang paling kuat atas nafsu untuk hidup. Beranak pinak, dengan demikian, bisa disebut dengan kejahatan!
Dan, yang terutama melakukan kejahatan itu adalah perempuan. “karena, ketika pengetahuan telah sampai pada tiadanya kehendak, pesona yang bodoh dari perempuan yang menggoda lagi laki-laki untuk beranak pinak. Anak-anak muda tidak cukup cerdas utnuk melihat betapa singkatnya pesona perempuan tersebut, dan ketika akal sehat mulai berfungsi lagi, ia sudah lama terperosok.
Oleh sebab itu, semakin kurang kita berhubungan dengan perempuan, semakin baiklah hidup kita. Hidup terasa lebih aman, lebih menyenangkan lebih halus tanpa perempuan. Biarkan para lelaki memahami jerat yang dipasang pada kecantikan perempuan, maka komedi absurd reproduksi (pasti) akan berakhir. Perkembangan intelegensi akan memperlemah kehendak untuk bereproduksi, dan dengan demikian suatu ras akan punah. Dan, dengan begitu, penderitaan hidup akan berakhir.
Schopenhauer dapat mengatakan bahwa perempuan merupakan sumber kejahatan dikarenakan ajarannya yang bersifat pesimis dan ia sendiri akhirnya tidak jadi menikah dan hidup sendiri sampai akhir hayatnya sehingga ada kemungkinan ia menganggap perempuan dengan cara yang negatif.
3. Kehendak Buta
Menurut Schopenhauer, dunia adalah kehendak dan tiada jalan yang menuju kepada dunia di dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, hakikat dunia tidak dapat didekati dari luar; sebab segala pendekatan dari luar hanya memberi pengetahuan tentang apa yang tampak saja, tidak memberi pengetahuan tentang hakikat dunia itu. Untuk mengetahui tentang hakikat sebenarnya dari dunia ini, kita harus memasuki diri kita sendiri. Kalau kita mampu menemukan hakikat jiwa kita sendiri, kita mungkin akan mempunyai kunci untuk membuka pintu dunia luar.
  1. Kehendak Hidup
Keinginan manusia yang sangat kuat dan didasari pada norma-norma yang ada, yang dilakukan untuk mempertahankan hidupnya. Dalam hal ini kehendak manusia tidak akan terlepas dari yang namanya intlektual, maksudnya bahwa setiap kehendak dari manusia selalu didasarkan pada intlektual yang dimiliki oleh individu tersebut. akan tetapi dalam hal ini intlek bisa letih, dan kehendak selalu terjaga.
  1. Kehendak untuk Reproduksi
Musuh abadi dari kehendak untuk hidup adalah kematian. Kehendak untuk hidup dapat mengalahkan kematian dengan melakukan reproduksi. Setiap organisme normal pada saat mencapai tingkat dewasa, segera mengorbankan dirinya untuk menjalankan tugas reproduksi. Reproduksi adalah tujuan utama dan naluri yang paling kuat dari setiap organisme, karena dengan cara itu kehendak menaklukan kematian. Setiap orang mencari pasangan yang kira-kira bakal menetralisir segala kekurangannya. Tujuan utama perkawinan adalah perpanjangan spesies, dan bukannya kesenangan individu.
Menurut Schopenhauer setiap manusia mempunyai kehendak dimana terdiri dari dua kehendak yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bereproduksi. Semua manusia ingin hidup dan semua manusia akan meninggal dunia sehingga agar populasi manusia tidak punah maka diberikanlah kehendak untuk bereproduksi. Arthur berpendapat menurutnya setiap manusia mencari pasangan didasari untuk perpanjangan spesies dan bukan sepenuhnya kesenangan individu.
4. Kehendak Sebagai Kejahatan
Jika dunia adalah kehendak, maka dunia adalah penderitaan. Kehendak mengisyaratkan keinginan; keinginan selalu lebih besar dan lebih banyak daripada apa yang diperoleh. Akibatnya pemenuhan keinginan tidak pernah memuaskan, sehingga seringkali membawa ketidakbahagiaan daripada kebahagiaan. Karena tuntutan nafsu seringkali bertentangan dengan kesejahteraan pribadi kita dan membuatnya menjadi lemah. Kontradiksi merusak diri setiap individu, keinginan yang terpenuhi mengembangkan keinginan baru yang lebih besar, demikian seterusnya tanpa ada batasnya.
Gambaran menyeluruh tentang hidup sangatlah menyakitkan karena hidup adalah penderitaan. Bertambahnya pengetahuan bukan berarti bebas dari penderitaan, melainkan justru memperbesar penderitaan. Sejauh kehendak adalah faktor dominan dalam manusia, kesengsaraan dan perselisihan akan terus menerus ada, dan harus terus ada.
Kehendak dianggap sebagai kejahatan bagi Schopenhauer dikarenakan apabila kehendak tidak terpenuhi akan mendatangkan penderitaan dan akhirnya kehilangan kebahagian.


Referensi :
1.https://id.wikipedia.org/wiki/Arthur_Schopenhauer
2. http://psychoexpo.blogspot.co.id/2010/05/kehendak-buta-filsafat-arthur.html
3.http://www.kompasiana.com/www.filsafatmanusia.com/filsafat-manusia-kehedak-buta-arthur-schopenhauer-1788-1868_55299b106ea8343925552d0c

Kamis, 13 April 2017

Pokok-Pokok Pemikiran Rene Descrates

Pokok - Pokok Pemikiran Rene Descartes

Dialah Rene Descartes

Mari Kita Mengenal lebih dalam Filsuf yang terkenal dengan pokok pemikirannya "cogito ergo sum"


Dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur berbahasa Latin, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang terpenting ialah Discours de la méthode(1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641).

Descartes, kadang dipanggil "Penemu Filsafat Modern" dan "Bapak Matematika Modern", adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya, membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang kita kenal sebagai rasionalisme kontinental, sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18.


Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendakatan pemikirannya bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berfikir. Ini juga membuktikan keterbatasan manusia dalam berfikir dan mengakui sesuatu yang di luar kemampuan pemikiran manusia. Karena itu, ia membedakan "fikiran" dan "fisik". Pada akhirnya, kita mengakui keberadaan kita karena adanya alam fikir.
Dalam bahasa Latin kalimat ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya artinya adalah:
"Aku berpikir maka aku ada". (IngI think, therefore I am) Atau, I think, therefore I exist.
Meski paling dikenal karena karya-karya filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta sistem koordinat Kartesius, yang memengaruhi perkembangankalkulus modern.  

Pokok pemikiran descartes menghasilkan karyanya antara lain yaitu :

I. Pengetahuan yang Pasti

Karya filsafat Descrates dapat dipahami dalam bingkai konteks pemikiran pada masanya, yakni adanya pertentangan antara scholasticism dengan keilmuan baru galilean-copernican. Atas dasar tersebut ia dengan misi filsafatnya berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Metodenya ialah dengan meragukan semua pengetahuan yang ada, yang kemudian mengantarkannya pada kesimpulan bahwa pengetahuan yang ia kategorikan ke dalam tiga bagian dapat diragukan.
1.Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi dapat diragukan, semisal kita memasukkan kayu lurus ke dalam air maka akan tampak bengkok.
2.Fakta umum tentang dunia semisal api itu panas dan benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descrates menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari situ kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut
3.Logika dan Matematika prinsip-prinsip logika dan matematika juga ia ragukan. Ia menyatakan bagaimana jika ada suatu makhluk yang berkuasa memasukkan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita berada dalam suatu matriks.

II. Ontologi Tuhan dan Benda

Berangkat dari pembuktiannya bahwa pikiran itu eksis, filsafatnya membuktikan bahwa Tuhan ada dan kemudian membuktikan bahwa benda material ada.
Descrates mendasarkan akan adanya Tuhan pada prinsip bahwa sebab harus lebih besar, sempurna, baik dari akibat. Dalam pikiran Descrates ia memiliki suatu gagasan tentang Tuhan adalah suatu makhluk sempurna yang tak terhingga. Gagasan tersebut tidak mungkin muncul/disebabkan oleh pengalaman dan pikiran diri sendiri, karena kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak sempurna dan dapat diragukan sehingga tidak memenuhi prinsip sebab lebih sempurna dari akibat. Gagasan tentang Tuhan yang ada dalam kepala (sebagai akibat) hanya bisa disebabkan oleh sebuah makhluk sempurna yang menaruhnya dalam pikiran saya, yakni Tuhan.

III. Metafisika

Bagi Rene Descrates, realitas terdiri dari tiga hal. Yakni benda material yang terbatas (objek-objek fisik seperti meja, kursi, tubuh manusia, dan sebagainya), benda mental-nonmaterial yang terbatas (pikiran dan jiwa manusia), serta benda mental yang tak terbatas (Tuhan).
Ia juga membedakan antara pikiran manusia dan tubuh fisik manusia. Pembagian ini juga mengantarkannya pada pembagian keilmuan. Realitas material sebagai ranah bagi keilmuan baru yang dibawa Galileo dan Copernicus, realitas mental bagi keilmuan dalam bidang agama, etika, dan sejenisnya.
Namun, dualismenya ini juga yang kerap kali menjadi kritikan bagi berbagai filsuf lainnya seperti Barkley misalnya. Problem utama dari dualisme tersebut ialah bagaimana pikiran dan tubuh berinteraksi satu sama lainnya. serta terjebak dalam pilihan ekstrem, baginya benda hidup selain manusia (contoh:hewan) tidak memiliki pikiran dan jiwa, sehingga hanya dipandang sebagai bentuk material sama halnya seperti mesin.
Refrensi : https://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes